Pada suatu masa, perubahan orbit itu memaksanya menempuh lintasan yang langsung berpotongan dengan orbit planet Mars. Dan pada saat yang sama baik si asteroid maupun sang planet itu sedang berada di titik potong orbit tersebut. Tanpa bisa ditolak lagi, bongkahan batu jumbo untuk ukuran kita ini pun melesat ke arah planet tetangga dekat Bumi itu dengan kecepatan lumayan tinggi, sekitar 7 km/detik alias 25.200 km/jam. Dengan begitu si asteroid yang kemudian menjadi meteoroid ini melesat secepat lebih dari 20 kali kecepatan suara. Lapisan-lapisan udara Mars yang tipis tak sanggup menahan meteoroid ini meskipun sudah berusaha habis-habisan menggerus dan menguapkannya.

Gambar 1. Kawah bergaris tengah 48,5 meter di Mars yang terbentuk akibat hantaman meteoroid antara 27 hingga 28 Maret 2012, diabadikan oleh instrumen HiRISE wahana MRO. Panduan arah, atas = utara, kanan = timur. Di sebelah selatan kawah ini nampak kawah yang lebih kecil namun terbentuk pada saat yang sama. Terlihat pula adanya pencaran material produk tumbukan ke arah utara-timur laut. Sumber: NASA, 2014.

Gambar 2. Lokasi kawah bergaris tengah 48,5 meter dalam peta global Mars, dilabeli dengan 27-Mar-12. Panduan arah, atas = utara, kanan = timur. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan citra Mars dari NASA, 2006.
Jejak ledakan di udara dan tumbukan asteroid tersebut pertama kali terlihat lewat citra instrumen MARCI (Mars Color Imager). MARCI merupakan instrumen yang dirancang guna mengidentifikasi cuaca Mars dan perubahannya dari hari ke hari. Ini adalah informasi yang krusial bagi operasi robot-robot penjelajah Mars yang masih aktif seperti Opportunity (Mars Exploration Rover-B) dan Curiosity (Mars Science Laboratory). Saat menganalisis citra MARCI, astronom Bruce Cantor yang juga salah satu pakar cuaca Mars menemukan bintik hitam dengan beberapa alur pencar yang berlokasi di dekat garis khatulistiwa Mars, di sisi selatan kawasan Nix Olympica yang menjadi tempat bersemayamnya gunung berapi raksasa Olympus. Bintik itu memiliki ciri-ciri yang sama dengan sejumlah titik di permukaan Mars yang baru-baru ini kejatuhan asteroid sehingga terbentuk kawah.

Gambar 3. Perbandingan citra MARCI wahana MRO per 27 dan 28 Maret 2012 yang mengungkap terbentuknya kawah 48,5 meter di sisi selatan Gunung Olympus disertai dengan kejadian ledakan di udara mirip peristiwa Chelyabinsk (Rusia) 15 Februari 2013 silam. Panduan arah, atas = utara, kanan = timur. Nampak bintik hitam dengan 3 alur pencaran tanah yang merentang hingga radius 8 km dari pusat bintik. Di pusat bintik inilah terdapat kawah 48,5 meter. Sumber: NASA, 2014.
Bumi

Gambar 4. Perbandingan citra CTX antara sebelum dan sesudah 28 Maret 2012. Panduan arah, atas = utara, kanan = timur. Nampak kawah 48,5 meter (dalam kotak putih) dengan kawah lain yang lebih kecil tepat di sisi selatannya. Sumber: NASA, 2014.
Penemuan kawah-kawah Mars memiliki banyak manfaat. Salah satunya guna menguak rahasia di balik tanah Mars, misalnya ketebalan es abadi (permafrost). Juga untuk mengetahui seberapa sering Mars kejatuhan meteoroid. Informasi tersebut penting artinya saat kita berencana untuk mendarat sekaligus membangun koloni manusia di sana. Dengan atmosfer yang lebih tipis, meteoroid di Mars tidak mengalami hambatan sebesar meteoroid di Bumi sehingga potensi sampai di permukaan Mars jauh lebih besar. Maka potensi bahayanya terhadap manusia pun lebih tinggi ketimbang di Bumi.
Bagaimana jika asteroid seperti itu jatuh ke Bumi? Mari kita simulasikan. Kecepatan rata-rata tumbukan asteroid ke Bumi adalah lebih tinggi, yakni 20 km/detik (relatif terhadap Bumi) atau lebih dari 73.000 km/jam. Namun dengan lapisan udara lebih tebal dan lebih pekat, maka kala sebuah meteoroid dengan massa 100 ton mencoba menembus atmosfer Bumi kita, ia akan terpanaskan lebih hebat hingga tergerus dan teruapkan sedikit demi sedikit. Tekanan yang diberikan atmosfer pun kian besar seiring kian jauhnya meteoroid memasuki atmosfer. Di ketinggian 57 km dpl (dari paras air laut rata-rata), tekanan yang sangat besar mulai memecah-belah meter menjadi bongkahan dan kepingan beraneka ragam ukuran. Dan pada ketinggian sekitar 40 km dpl, terjadi ledakan di udara (airburst) yang melepaskan hampir seluruh energi kinetiknya yang sebesar 5 kiloton TNT alias setara seperempat kekuatan bom nuklir yang diledakkan di atas kota Hiroshima pada akhir Perang Dunia 2.
Pasca ledakan di udara itu, massa meteor yang masih tersisa pada umumnya tinggal 1 % dari massa awal, atau setara 1 ton. Namun itu tidak berupa bongkahan utuh, melainkan terdistribusi dalam ribuan hingga puluhan ribu keping dengan perilaku yang sepenuhnya dikendalikan oleh gravitasi Bumi. Sehingga kala mereka berjatuhan mengguyur permukaan Bumi di titik targetnya, potensi kerusakan yang ditimbulkannya telah jauh lebih kecil.